Paradoks Kembar Part 2


Hari yang dinanti-nanti itu pun tiba. Pada suatu malam yang disertai hujan badai, suara jeritan seorang bayi laki-laki memecah keheningan gubuk mereka. Lalu selang beberapa saat kemudian, jeritan bayi laki-laki kedua turut menambah keriuhan suasana malam itu. Pasangan suami istri yang penuh dengan kesabaran itu akhirnya dikaruniai dua orang anak laki-laki kembar. Dengan kelahiran kedua bayi laki-laki itu seolah-olah Tuhan ingin mengatakan bahwa Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan dan sabar dalam menjalani ketetapannya. 

Ada yang berbeda dan berubah dari kehidupan pasangan suami istri itu sejak kelahiran kedua anak kembarnya. Hasil panen mereka tiba-tiba meningkat dari yang biasanya, kambing peliharaan mereka pun memproduksi susu yang jauh lebih banyak dari biasanya. Selain itu, suasana rumah yang selama ini sunyi dan sepi, mulai ramai dengan adanya tangisan saling bersautan dari dua anggota baru dalam keluarga sederhana itu. 

Waktu pun berlalu. Sehari, seminggu, sebulan, setahun, dua tahun, dan tanpa terasa kedua bayi kembar tersebut telah tumbuh menjadi anak-anak yang lincah, yang senang berlari kesana kemari. Sehari-hari mereka berdua bekerja membantu ayahnya di ladang. Seperti biasa, ketika waktu makan siang tiba, sang ibu datang membawa bekal makan siang untuk mereka santap bersama di bawah teduhnya bayang-bayang dahan pohon. Suasana makan siang sederhana itu terasa semakin istimewa dengan adanya tawa canda, dan pertengkaran khas anak-anak yang seolah-olah menjadi musik pengiring santapan siang keluarga kecil itu. Namun tak jarang pula pertengkaran antara kedua saudara kembar itu melewati batas. Pernah suatu hari ketika si bungsu sedang tidur siang setelah menyantap makan siangnya, si sulung dengan tanpa pikir panjang, meletakkan sebuah sarang semut merah di atas dada sang adik. Sontak sang adik meronta dan mengibas-ngibaskan tangannya ke sekujur badannya untuk menyingkirkan semut-semut merah itu. Alhasil, kejadian itu memicu perkelahian antara keduanya, namun dengan cepat dilerai oleh sang ayah. Pernah juga suatu ketika, sang kakak sedang buang hajat di tengah semak belukar di sekitar ladang mereka. Sang adik secara diam-diam dan  sembunyi-sembunyi masuk ke tengah semak, lalu tiba-tiba  mengejutkan sang kakak yang sedang berkonsentrasi penuh. Sontak sang kakak melompat terkejut dan terjatuh, hingga kotoran mengenai sebagian tubuh sang kakak, dan lagi-lagi kejadian itu memicu pertengkaran yang berakhir pada perkelahian antara keduanya, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang memicu pertengkaran antara kedua saudara kembar tersebut. Namun sejauh itu, kedua orangtua mereka masih mentolerir prilaku kedua anaknya itu, dan tidak pernah berlaku keras terhadap keduanya. Mereka menganggap itu hanyalah kenakalan dan perselisihan kecil diantara mereka, dan juga mengingat seberapa lamanya mereka menunggu kelahiran kedua buah hatinya itu sehingga menimbulkan perasaan iba dan kasihan setiap kali terlintas dalam pikiran mereka untuk mengambil tindakan tegas terhadap kedua anaknya itu

Pada suatu hari, ketika sang Ayah sedang asik bekerja di tengah ladang, tiba-tiba sang ayah dikejutkan dengan teriakan si bungsu dan si sulung dari tengah semak belukar. Dengan cepat sang Ayah menuju ke tempat anak-anaknya itu berada. Di hadapan kedua anaknya itu dia mendapati dua ekor ular kobra hitam besar yang sudah dalam posisi siap menyerang kedua anaknya yang menangis ketakutan. Dengan sigap sang Ayah mengambil sepotong kayu yang ada disampingnya dan mengarahkannya kepada ular-ular tersebut. Ketika ular tersebut menyerang, langsung sang Ayah mengibaskan potongan kayu yang dipegangnya ke arah ular tersebut hingga menyebabkan sang ular terpental. Sibuk menghalau ular yang pertama, ular yang kedua dengan tiba-tiba menyerang dan mencoba menggigit kaki si bungsu. Secara refleks sang Ayah mencoba menendang ular tersebut dengan kakinya. Tapi sayang, bukannya menghindar, ular tersebut malah menggigit kaki sang ayah yang kemudian dengan kayu yang masih menempel di tangannya, ia pukul ular tersebut sampai gigitannya terlepas. Bekas gigitan ular itu meninggalkan luka pada betis sang Ayah. Sang Ayah berusaha menekan-nekan luka bekas gigitan ular tersebut lalu mengikat bagian atas betisnya dengan tali dari pelepah pohon pisang dengan harapan racun ular tersebut tidak menyebar ke seluruh tubuhnya. Lalu ia pun pulang ke rumah sambil berusaha menenangkan kedua anaknya yang masih menangis ketakutan itu.

Sesampainya di rumah, sang istri terkejut melihat cara berjalan suaminya yang agak pincang sambil menggendong kedua anak mereka yang masih tetap menangis. Dengan cemas ia pun menghampiri sang suami dan bertanya tentang apa yang telah terjadi. Mulanya sang suami tidak memberitahukan kepada sang istri perihal gigitan ular yang ia alami. Ia tidak ingin membuat sang istri khawatir dan cemas akan keadaannya. Namun ketika melihat wajah suaminya yang semakin pucat dan membiru, sang istri terus mendesak agar sang suami menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang, sang suami menceritakan kejadian yang sebenarnya, yang disambut dengan kepanikan pada wajah sang istri yang secara spontan mengambil air hangat lalu membasuh luka gigitan ular pada betis sang suami dengan air tersebut. Beberapa saat berlalu, kondisi sang suami semakin tidak karuan. Badannya menggigil disertai bibir dan wajahnya yang semakin pucat dan membiru. Sampai akhirnya pada malam hari setelah kejadian itu, sang Ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir dipangkuan sang istri, yang langsung disambut isak tangis haru anak-anak dan istri yang ditinggalkannya.

Kunjungi Juga:
Salam Aqiqah, Membantu Memenuhi Kebutuhan Hewan Aqiqah Anda.

Komentar